Istilah people power atau kekuatan publik tetap mencukupi sudut-sudut tajuk berita belakangan ini. Konstelasi politik pasca-Pilpres 2019 pun kian memanas dengan tampilnya wacana ini.
Lantas, apa maksud people power dan bagaimana sejarah tampilnya istilah itu? Apakah mungkin akan terlaksana wacana itu?
Istilah people power pertama kali dipakai pada revolusi sosial damai di Filipina sebagai akibat dari protes rakyat Filipina pada 1986. Aksi damai yang berlaku selama empat hari ini, dilakukan jutaan orang di Metro Manila dengan tujuan mengakhiri rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos dan Pengangkatan Corazon Aquino sebagai presiden.
People power ditandai sebagai perlawanan damai dengan cara demonstrasi turun ke jalan tiap hari, lebih-lebih di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA). Peristiwa ini juga dianggap sebagai momen yang melahirkan sekali lagi demokrasi di Filipina. Walau pun people power adalah aksi damai, peristiwa ini sukses menumbangkan rezim Ferdinand Marcos.
Komisi Pemilihan Umum (Comelec) dengan cara sah mengumumkan Marcos mengalahkan Aquino, tetapi Gerakan Nasional untuk Pemilihan Bebas (Namfrel), sebuah organisasi independen yang melaksanakan penghitungan suara tidak sah, menyatakan Aquino sebagai pemenang.
Hal tersebut didukung beberapa orang Filipina yang percaya Aquino adalah pemenangnya. Jutaan warga Filipina lantas berbondong-bondong ke EDSA, mendukung tentara pemberontak untuk menggelar demonstrasi damai yang disebut people power.
Sementara di Negara kita, people power adalah reaksi yang tampil akibat kubu pasangan capres-cawapres nomer urut 02 menganggap pemilu 2019 banyak kecurangan.
Hasil penghitungan cepat lembaga survei menyebutkan Pilpres 2019 dimenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf. Sedangkan, kubu 02 tidak percaya pada hasil quick count.
Lantaran itu, pasangan Prabowo-Sandiaga mendesak supaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menghentikan rekapitulasi suara, dan mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Ma'ruf.
Di sisi lain, pemerintahan yang berkuasa umumnya otoriter, meskipun tidak senantiasa dipimpin militer. Dan juga, pemerintah juga berkuasa lumayan lama dan tidak pernah berganti pimpinan, seperti yang dialami Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, Irak, Libia, Aljazair, dan Sudan. Padahal negara-negara itu dengan cara formal menerapkan sistem pemerintahan republik. Hal tersebut mendatangkan terjadinya nepotisme dan korupsi di kalangan elite pemimpin pemerintahan.
Didari pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menyebut akan melaksanakan people power jika pemilu 2019 penuh kecurangan. Namun, dalam perjalanannya, wacana ini melempem, karena koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga kurang kompak. Internal PAN sendiri tidak setuju dengan wacana yang digaungkan Amien itu.
Teranyar, politikus PAN Eggi Sudjana juga menjadi tersangka karena peristiwa dugaan makar akibat ujaran people power. Dia menyebut inspirasi kata-kata itu berasal dari 2014 saat kontestasi pilpres dengan 2 pasangan calon, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Justru people power ini dari 2014 dari kelompok Jokowi dan itu ada bukunya. Bisa dilihat di Gramedia," kata Eggi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (13/5).
Menurut Eggi, buku itu menuliskan gerakan people power itu kerap dihalangi seluruh elite.
"Makannya apa yang di dalam buku ini saya sudah baca itu. Nah, saya ingat sekali omongan saya di depan rumah Prabowo saya katakan yang bikin berengsek ini seluruh elite. Jadi kita jaga persatuan Negara kita, itu ada kalimat saya jika tidak dipotong," ujar dia dilansir Antara.
Di lain pihak, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Soesatyo mengatakan aksi people power saat ini tidak butuh dilakukan di Negara kita. Dia menilai gerakan bisa dilakukan jika mencukupi unsur-unsur seperti krisis ekonomi dan pemerintahan berjalan otoriter.
"Wacana digulirkan nya people power belum tepat masanya karena tidak ada kondisi genting yang memaksa. Kalau dipaksakan maka yang rugi adalah rakyat Negara kita," kata Bamsoet usai menggelar buka puasa bersama di Rumah Dinas Ketua DPR, Jalan Widya Chandra, Jakarta, Senin (13/5).
Selain Bamsoet, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Banyumas KH Sabar Munanto juga menanggapi rencana aksi people power ini. Dia mengimbau warga tidak terprovokasi. Ia mengatakan pengerahan kekuatan massa itu adalah cara yang bermengenaian dengan sistem perundangan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan pengaduan pelanggaran pemilu.
"People power tidak relevan, pelaksanaan pemilu sudah ada peraturan hukumnya. Kami berharap warga bisa semakin dewasa menyikapi isu people power ini dan menyikapi perbedaan, karena perbedaan itu justru memperkaya bangsa dan negara ini," kata Sabar di Purwokerto, Banyumas, Selasa (14/5) dilansir Antara.
Sementara, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Agum Gumelar membandingkan seruan revolusi pada 1998. Menurut Agum, pada 1998, seruan revolusi diarahkan kepada rezim yang otoriter. Sementara, pemerintahan Jokowi berlainan.
Agum menjelaskan, revolusi hanya diarahkan kepada 2 hal. Pertama, kepada kaum penjajah untuk merebut kemerdekaan. Dan kedua, pernyataan itu diungkapkan kepada rezim yang otoriter dan diktator, di mana mayoritas warga Negara kita benar-benar tidak menyukai pemerintahan itu.
"Tapi kita lihat sekarang ini, dong. Pak Jokowi ini Presiden dengan pemerintahannya, di mata warga kita, 70 persen semakin puas dengan apa yang dikerjakan," kata Agum di Komplek Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).
Sehingga, lanjut Agum, apabila ingin menggulirkan pemerintahan Jokowi dengan cara-cara seperti gerakan people power, tidak akan bisa. Berbeda pada 1998 yang mayoritas warga mengungkapkan ketidakpuasan dengan kondisi saat pemerintahan Soeharto.
Lantas, apa maksud people power dan bagaimana sejarah tampilnya istilah itu? Apakah mungkin akan terlaksana wacana itu?
1. Sejarah people power
Pada zaman Yunani kuno, rakyat datang berunjuk rasa di depan senat adalah kondisi yang lumrah. Aksi ini biasa dilakukan saat rakyat diarahkan pada kebijakan senat yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat.Istilah people power pertama kali dipakai pada revolusi sosial damai di Filipina sebagai akibat dari protes rakyat Filipina pada 1986. Aksi damai yang berlaku selama empat hari ini, dilakukan jutaan orang di Metro Manila dengan tujuan mengakhiri rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos dan Pengangkatan Corazon Aquino sebagai presiden.
People power ditandai sebagai perlawanan damai dengan cara demonstrasi turun ke jalan tiap hari, lebih-lebih di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA). Peristiwa ini juga dianggap sebagai momen yang melahirkan sekali lagi demokrasi di Filipina. Walau pun people power adalah aksi damai, peristiwa ini sukses menumbangkan rezim Ferdinand Marcos.
2. Perbandingan people power di Filipina dengan people power di Negara kita
Akibat keadaan yang tidak stabil, Presiden Marcos menyerukan pemilihan presiden dengan cara kilat. Adapun calon yang maju adalah Presiden Marcos sendiri dan pesaingnya, Corazon Aquino, istri dari senator Benigno Aquino JR yang dibunuh di Manila International Airport, yang sesungguhnya kurang memiliki pengalaman politik.Komisi Pemilihan Umum (Comelec) dengan cara sah mengumumkan Marcos mengalahkan Aquino, tetapi Gerakan Nasional untuk Pemilihan Bebas (Namfrel), sebuah organisasi independen yang melaksanakan penghitungan suara tidak sah, menyatakan Aquino sebagai pemenang.
Hal tersebut didukung beberapa orang Filipina yang percaya Aquino adalah pemenangnya. Jutaan warga Filipina lantas berbondong-bondong ke EDSA, mendukung tentara pemberontak untuk menggelar demonstrasi damai yang disebut people power.
Sementara di Negara kita, people power adalah reaksi yang tampil akibat kubu pasangan capres-cawapres nomer urut 02 menganggap pemilu 2019 banyak kecurangan.
Hasil penghitungan cepat lembaga survei menyebutkan Pilpres 2019 dimenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf. Sedangkan, kubu 02 tidak percaya pada hasil quick count.
Lantaran itu, pasangan Prabowo-Sandiaga mendesak supaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menghentikan rekapitulasi suara, dan mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Ma'ruf.
3. Negara-negara yang menggelar gerakan people power
Selain Filipina, beberapa negara juga menerapkan people power. Sejak Arab Spring melanda negara-negara Muslim di Timur Tengah, istilah people power senantiasa dipakai untuk menyebutkan gerakkan massa yang menentang penguasa. Rakyat yang bergerak umumnya memiliki tuntutan tunggal, yakni demokrasi atau bagaimana demokrasi diterapkan di negaranya.Di sisi lain, pemerintahan yang berkuasa umumnya otoriter, meskipun tidak senantiasa dipimpin militer. Dan juga, pemerintah juga berkuasa lumayan lama dan tidak pernah berganti pimpinan, seperti yang dialami Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, Irak, Libia, Aljazair, dan Sudan. Padahal negara-negara itu dengan cara formal menerapkan sistem pemerintahan republik. Hal tersebut mendatangkan terjadinya nepotisme dan korupsi di kalangan elite pemimpin pemerintahan.
4. Reaksi atas rencana dilaksanakannya gerakan people power
Di Negara kita, istilah people power mulai dipakai saat rakyat berupaya menggulingkan rezim Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Pada saat era Presiden Joko “Jokowi” Widodo, istilah ini mulai terdengar sekali lagi saat berlaku pesta demokrasi.Didari pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menyebut akan melaksanakan people power jika pemilu 2019 penuh kecurangan. Namun, dalam perjalanannya, wacana ini melempem, karena koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga kurang kompak. Internal PAN sendiri tidak setuju dengan wacana yang digaungkan Amien itu.
Teranyar, politikus PAN Eggi Sudjana juga menjadi tersangka karena peristiwa dugaan makar akibat ujaran people power. Dia menyebut inspirasi kata-kata itu berasal dari 2014 saat kontestasi pilpres dengan 2 pasangan calon, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Justru people power ini dari 2014 dari kelompok Jokowi dan itu ada bukunya. Bisa dilihat di Gramedia," kata Eggi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (13/5).
Menurut Eggi, buku itu menuliskan gerakan people power itu kerap dihalangi seluruh elite.
"Makannya apa yang di dalam buku ini saya sudah baca itu. Nah, saya ingat sekali omongan saya di depan rumah Prabowo saya katakan yang bikin berengsek ini seluruh elite. Jadi kita jaga persatuan Negara kita, itu ada kalimat saya jika tidak dipotong," ujar dia dilansir Antara.
Di lain pihak, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Soesatyo mengatakan aksi people power saat ini tidak butuh dilakukan di Negara kita. Dia menilai gerakan bisa dilakukan jika mencukupi unsur-unsur seperti krisis ekonomi dan pemerintahan berjalan otoriter.
"Wacana digulirkan nya people power belum tepat masanya karena tidak ada kondisi genting yang memaksa. Kalau dipaksakan maka yang rugi adalah rakyat Negara kita," kata Bamsoet usai menggelar buka puasa bersama di Rumah Dinas Ketua DPR, Jalan Widya Chandra, Jakarta, Senin (13/5).
Selain Bamsoet, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Banyumas KH Sabar Munanto juga menanggapi rencana aksi people power ini. Dia mengimbau warga tidak terprovokasi. Ia mengatakan pengerahan kekuatan massa itu adalah cara yang bermengenaian dengan sistem perundangan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan pengaduan pelanggaran pemilu.
"People power tidak relevan, pelaksanaan pemilu sudah ada peraturan hukumnya. Kami berharap warga bisa semakin dewasa menyikapi isu people power ini dan menyikapi perbedaan, karena perbedaan itu justru memperkaya bangsa dan negara ini," kata Sabar di Purwokerto, Banyumas, Selasa (14/5) dilansir Antara.
Sementara, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Agum Gumelar membandingkan seruan revolusi pada 1998. Menurut Agum, pada 1998, seruan revolusi diarahkan kepada rezim yang otoriter. Sementara, pemerintahan Jokowi berlainan.
Agum menjelaskan, revolusi hanya diarahkan kepada 2 hal. Pertama, kepada kaum penjajah untuk merebut kemerdekaan. Dan kedua, pernyataan itu diungkapkan kepada rezim yang otoriter dan diktator, di mana mayoritas warga Negara kita benar-benar tidak menyukai pemerintahan itu.
"Tapi kita lihat sekarang ini, dong. Pak Jokowi ini Presiden dengan pemerintahannya, di mata warga kita, 70 persen semakin puas dengan apa yang dikerjakan," kata Agum di Komplek Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).
Sehingga, lanjut Agum, apabila ingin menggulirkan pemerintahan Jokowi dengan cara-cara seperti gerakan people power, tidak akan bisa. Berbeda pada 1998 yang mayoritas warga mengungkapkan ketidakpuasan dengan kondisi saat pemerintahan Soeharto.
Comments
Post a Comment