Perlawanan terhadap VOC di Jawa kembali terjadi. Perlawanan ini dipimpin oleh bangsawan kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun. Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja Mataram pasca Sultan Agung merupakan raja-raja yang lemah bahkan bersahabat dengan kaum penjajah. Pada saat pemerintahan Pakubuwana II terjadi persahabatan dengan VOC. Bahkan, VOC semakin berani untuk menekan dan melakukan intervensi terhadap jalannya pemerintahan Pakubuwana II. Hal ini mendorong munculnya berbagai perlawanan misalnya perlawanan Raden Mas Said.
Saat Raden Mas Said mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Akibat permohonan ini Mas Said justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan. Raden Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Pakubuwana II mengumumkan barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang). Mas Said tidak menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap VOC dan juga pihak kerajaan.
Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi adalah adik dari Pakubuwana II. Singkat cerita Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji. Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan VOC. Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden Mas Said dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati. Sedangkan Pangeran Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Plered (termasuk daerah Yogyakarta sekarang). Diberitakan pada saat itu Pangeran Mangkubumi memiliki 13.000 prajurit, termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Di tengah-tengah berkecamuknya perang di berbagai tempat, terdengar berita bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras. Pakubuwana II sangat mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk segera datang ke istana kerajaan. Melihat kondisi Pakubuwana II yang mulai tidak menentu dan sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff memerintahkan Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk secepatnya menemui Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian. Dalam kondisi Pakubuwana II sakit keras ini tercapailah Het Allerbelangrijkste Contract, sebuah perjanjian yang sangat penting antara Pakubuwana II dengan pihak VOC yang diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut, Baron van Hohendorft.
Perjanjian tersebut merupakan sebuah tragedi besar. Karena Kerajaan Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada pihak asing (VOC). Hal ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.
Perang dan kekacauan yang terjadi di Mataram telah menghabiskan dana yang begitu besar. Sementara perlawanan Pangeran Mangubumi dan Mas Said belum ada tanda-tanda mau berakhir. Oleh karena itu, penguasa VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Dengan perantara seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, akhirnya Pangeran Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan dengan “Palihan Negari”.
Dalam praktiknya Perjanjian Giyanti hanya berhasil menghentikan peperangan secara militer. Namun peperangan dalam bentuk lain tidak dapat dipadamkan seperti perlawanan budaya yang tercermin dalam budaya Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta dalam konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja”. Perlawanan budaya dengan konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja” bahkan terus berkembang sampai Indonesia merdeka. Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I
Saat Raden Mas Said mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Akibat permohonan ini Mas Said justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan. Raden Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Pakubuwana II mengumumkan barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang). Mas Said tidak menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap VOC dan juga pihak kerajaan.
Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi adalah adik dari Pakubuwana II. Singkat cerita Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji. Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan VOC. Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden Mas Said dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati. Sedangkan Pangeran Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Plered (termasuk daerah Yogyakarta sekarang). Diberitakan pada saat itu Pangeran Mangkubumi memiliki 13.000 prajurit, termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Di tengah-tengah berkecamuknya perang di berbagai tempat, terdengar berita bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras. Pakubuwana II sangat mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk segera datang ke istana kerajaan. Melihat kondisi Pakubuwana II yang mulai tidak menentu dan sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff memerintahkan Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk secepatnya menemui Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian. Dalam kondisi Pakubuwana II sakit keras ini tercapailah Het Allerbelangrijkste Contract, sebuah perjanjian yang sangat penting antara Pakubuwana II dengan pihak VOC yang diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut, Baron van Hohendorft.
Perjanjian tersebut merupakan sebuah tragedi besar. Karena Kerajaan Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada pihak asing (VOC). Hal ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.
Perang dan kekacauan yang terjadi di Mataram telah menghabiskan dana yang begitu besar. Sementara perlawanan Pangeran Mangubumi dan Mas Said belum ada tanda-tanda mau berakhir. Oleh karena itu, penguasa VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Dengan perantara seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, akhirnya Pangeran Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan dengan “Palihan Negari”.
Dalam praktiknya Perjanjian Giyanti hanya berhasil menghentikan peperangan secara militer. Namun peperangan dalam bentuk lain tidak dapat dipadamkan seperti perlawanan budaya yang tercermin dalam budaya Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta dalam konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja”. Perlawanan budaya dengan konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja” bahkan terus berkembang sampai Indonesia merdeka. Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I
Comments
Post a Comment